25 September 2024

Cerpen: Boy Tekno di Kampung Teknologi Karya Fendi Haris
Silahkan Baca Sebuah Cerita Pendek (Cerpen) Berjudul Boy Tekno di Kampung Teknologi Karya Fendi Haris.
Boy Tekno di Kampung Teknologi

 

Konon di sebuah kampung kecil bernama Kampung Menari, terdapat salah satu warga yang hidupnya bertahun-tahun selalu ribut berebut tanah warisan.

Tetangga pada jengah karena masalah tersebut tak kunjung padam, bahkan Arman kini harus rela berjibaku dengan kursi rodanya setelah melerai ayah dan pamannya bersitegang.

Rumah itu hampir ambruk, rumah yang awalnya kokoh dan berdiri di tanah seluas 80 meter itu kini tidak terawat, warna catnya luntur, dindingnya rapuh dan gentengnya pun hampir runtuh.

Ayah Arman “Pak Karya” adalah seorang tokoh masyarakat. Hatinya telah beku perihal warisan. Begitu juga dengan paman Arman “Pak Kasep” yang emosinya selalu menggebu-gebu.

Terlepas dari itu, sebenarnya mereka adalah pribadi yang sejuk nan religius. Sedangkan dari sisi finansial, mereka adalah seorang yang berkecukupan.

Pak Karya menjabat sebagai Ketua RW dan pak Kasep memiliki warung sembako di halaman depan rumahnya. Penduduk di Kampung Menari sebagian besar penduduknya jauh dari namanya teknologi. Keseharian mereka adalah berprofesi sebagai petani, bercocok tanam dan berdagang.

Pasca peristiwa nahas saat itu, kini Arman tidak lagi melakukan aktivitas sedia kala untuk membantu ayahnya seperti bertani dan bercocok tanam. Arman hanya bisa meratapi keadaannya yang berada di atas kursi roda. Rasanya, kaki yang dibalut dengan perban putih itu seperti beku kedinginan dan terasa kaku.

Di sekolah kujuruan, Arman dikenal oleh teman-temannya adalah siswa yang berprestasi. Arman sering menyabet gelar juara saban ada kompetisi di bidang IT. Itulah sebabnya Arman dipanggil “Boy Tekno” oleh teman-temannya.

Sejak Arman berada di atas kursi roda dan divonis dokter selama 3 bulan untuk pemulihan dan penyembuhan, dukungan dari banyak teman-temannya selalu menghampirinya.

Di sisi lain, Arman sebenarnya keponakan kesayangan dari pak Kasep sebelum prahara perebutan lahan sengketa itu bergulir. Terbukti di kamar Arman terlihat frame foto berukuran 10R yang menunjukkan keakraban Arman dengan pak Kasep.

Arman yang saat itu berusia 12 tahun terlihat sedang mengangkat piala kejuaraan lomba IT tingkat Provinsi. Posisi Arman berdampingan dengan pak Kasep yang tengah memakai baju batik dengan senyum bangga.

Sejak kecelakaan menimpa Arman, pak Kasep merasa bersalah dan menyesali kenapa harus menimpa keponakan kesayangannya tersebut. Semenjak tragedi nahas itu pula, kini perebutan lahan sengketa sudah mulai mereda.

Perasaan bersalah pak Kasep berkecamuk hingga ia tak dapat tidur nyenyak. Pikirannya melayang disertai ketakutan jika Arman mengalami cacat seumur hidup.

Mengetahui bahwa paman kesayangannya menyesal, Arman pun mencoba untuk memanfaatkan situasi agar permasalahan sengketa lahan itu bisa sirna. Dalam hatinya Arman berbisik “Gimana caranya agar lahan sengketa itu bisa bermanfaat untuk ummat? Daripada begini-begini terus? Yang ada malah bosan dan celaka”.

Arman tanpa sengaja menemukan sebuah buku yang terhimpit di antara buku-buku yang tersusun rapi. Ketika diambil, ternyata hanyalah buku diarynya. Arman mencoba membersihkan butiran debu yang masih menempel di-cover depan diary itu. Lalu ia pun terbelalak melihat ada sebuah catatan kecil yang menjadi cita-citanya sejak dahulu saat ia berusia 12 tahun.

Mengejutkan, Ternyata Arman bercita-cita menjadikan kampungnya agar tidak ketinggalan zaman dan bermartabat. Berikut kalimat lengkapnya yang ditulis dengan tinta hitam milik Arman saat itu “Aku terlahir di Kampung ini, aku besar di Kampung ini, dan cita-citaku adalah membangun Kampung ini supaya tidak ketinggalan zaman, mandiri dan bermartabat”.

Sontak Arman berpikiran tentang “Kampung Teknologi”, sebuah Kampung kecil yang berpenduduk masih kental akan profesi bertani dan berdagang nantinya berani mengikuti perkembangan zaman, lalu mengkombinasikan seluruh aktivitasnya dengan media teknologi.

Hasrat Arman pun kembali membara, namun hasrat tersebut meredup saat Arman menyadari bahwa untuk mewujudkannya tidaklah mudah. Lagi-lagi Arman memikirkan beberapa faktor diantaranya Sumber Daya Manusia (SDM), peralatan dan tempat.

Dengan pelan-pelan Arman mencoba berpikir jernih. Terkait Sumber Daya Manusia (SDM) Arman sendiri yang akan turun langsung dengan teman-temannya untuk melatih warga. Sedangkan untuk faktor peralatan, nantinya hanya difokuskan bagi warga yang telah memiliki gadget.

Kemudian yang menjadi kendala terakhir bagi Arman adalah faktor tempat. Kendala terakhir itulah yang membuat Arman berbicara dengan dirinya sendiri “Baiklah, jika memang tempat menjadi kendala, saya akan coba menghadap ayah untuk menawarkan agar tanah warisan nenek dijadikan tempat pelatihan”.

Berbekal nekat, saat itu juga Arman ditemani buku diarynya langsung mencoba untuk menghadap pak Karya yang sedang minum kopi di ruang tamu. Dengan aura yang terpancar di wajahnya, Arman mendorong kursi rodanya sekuat tenaga.

Pak Karya yang sedang melihat Arman bersusah payah, sontak menghampiri Arman. Kemudian membantunya untuk mendorong kursi roda tersebut.

“Astaghfirullah Arman”. Sambil meletakkan kopinya pak Karya menghampiri Arman. “Mau kemana kamu?”

“Hmm iya yah. Aku mau ketemu ayah. Ada yang mau aku sampaikan”. Pungkas Arman.

“Oh ayo nak ayah bantu”. Sambil mendorong kursi roda Arman menuju ruang tamu.

“Terimakasih yah”.

“Ada apa nak? Kamu mau menyampaikan apa?” Pak Karya kembali duduk dan menyeruput kopinya.

“Begini yah. Tentang rumah nenek itu”. Arman menatap kearah pak Karya. Sontak pak Karya terkejut. “Iya kenapa nak?”. Sambil menghentikan aktivitas minum kopinya pak Karya menjelaskan. “Itu adalah masalah ayah dengan pamanmu. Lebih baik kamu tidak usah mikir urusan ini ya”.

Dan seperti biasa pak Karya selalu sensitif jika membahas masalah tanah warisan.

Dengan suara lirih Arman meminta maaf. “Mohon maaf yah, bukannya Arman mau ikut campur. Kemudian dengan gugup memegang buku diarynya. Arman cuma ingin menunjukkan ini”.

“Apa itu? Coba ayah lihat”. Kemudian pak Karya mengambil kacamata di balik kantongnya dan mulai membaca buku diary Arman.

Sambil melihat pak Karya membaca, lalu Arman berujar “Aku punya keinginan untuk membangun Kampung Teknologi yah”.

Tiba-tiba kedua bola mata pak Karya berkaca-kaca menatap Arman.

“Subhanallah. Sungguh mulia sekali hatimu nak, apa yang bisa ayah bantu?”

“Begini yah, kira-kira bisa tidak jika rumah nenek itu dijadikan tempat pelatihan bagi warga? supaya warga di Kampung ini nantinya dapat produktif dan melek teknologi?” Dengan optimis

Arman mencoba meyakinkan pak Karya terhadap impiannya tersebut.

Pak Karya yang tengah memegang erat buku diary Arman menjawab “Sebenarnya bisa sekali nak. Tempat itu mungkin bisa dijadikan seperti tempat pelatihan”.

“Lantas bagaimana yah?” Arman menunjukkan rasa semangatnya yang tinggi.

“Kalau ayah sebenarnya setuju sekali dengan idemu ini. Selama tanah warisan itu bermanfaat untuk warga kampung, kenapa tidak? Namun masalahnya, apakah pamanmu setuju? Pasti pamanmu itu tidak menyetujuinya”.

Pak Karya pun merasa geram mengingat dan membahas lagi saudaranya itu.

“Oh baik yah, berarti ayah sudah menyetujui jika rumah almarhumah nenek dijadikan tempat pelatihan untuk warga?” Arman berusaha mendapatkan jawaban pasti tentang keinginannya.

“Tentu saja nak”. Pak Karya menegaskan kembali bahwa ia setuju untuk menjadikan rumah orang tuanya dijadikan tempat pelatihan bagi warga.

Arman pun senang. “Baik ayah terimakasih, berarti tugas Arman selanjutnya adalah menanyakan kepada paman Kasep mengenai hal ini”. Arman sangat optimis sekali, bahkan ia ingin segera beranjak dari kursi rodanya untuk bertemu pamannya.

Waktu menunjukkan jam setengah 7 malam. Pengeras suara masjid yang terletak di depan rumah Arman mengumandangkan suara ‘adzan’. Arman pun kembali menuju kamar dibantu oleh ayahnya untuk melakukan ibadah sholat isya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Setelah sholat, telepon genggam Arman berbunyi dan ternyata dari pamannya yaitu pak Kasep. Ia menanyakan kabar Arman, dan Arman pun menjawab bahwa kondisinya baik-baik saja. Kemudian Arman meminta pak Kasep untuk datang kerumahnya dengan harapan pak Kasep dapat menjenguknya langsung.

Selain itu, Arman juga bilang bahwa ada yang hendak disampaikan soal tanah warisan neneknya.

Awalnya pak Kasep bersikukuh tidak mau jika bertemu dengan ayah Arman. Apalagi jika membahas tanah warisan. Namun mengingat rasa
penyesalannya yang begitu besar, pak Kasep pun menerima permintaan Arman untuk datang kerumahnya. Mereka janjian untuk bertemu pada hari minggu.

Pada hari minggu sekitar jam 10 pagi, pak Kasep akhirnya datang juga ke rumah Arman. Jangankan memberi salam, pak Karya yang berada di ruang tamu tidak disapa. Bahkan tanpa basa-basi ia langsung menuju kamar Arman untuk menjenguknya.

Arman begitu senang paman kesayangannya datang dan menjenguknya langsung. Apalagi pak Kasep membawa buah-buahan yang disukai oleh Arman. Arman semakin senang. Lalu mereka berdua meluapkan rasa rindunya.

Sementara, tetangga sekitar yang mengetahui kedatangan pak Kasep sempat heboh.

Semua mengira akan ada pertikaian lanjutan bak sinetron episode kedua. Tetangga berkerumun di kejauhan sekitar 100 meter, tepat disamping rumah Arman.

Ada yang berdagang, tapi dagangannya di tinggal, ada yang sedang mencuci baju tapi bajunya dibiarkan dan ada pula yang memang suka melihat keributan.

Kemudian Arman berhasil mengajak pak Kasep ke ruang tamu untuk duduk. Sekujur tubuh pak Kasep terasa kaku duduk bersamaan dengan pak Karya.

Barulah Arman menyampaikan keinginan tentang tanah warisan neneknya.

 

“Paman, begini. Rumah warisan nenek sekarang kondisinya sudah tidak terawat dan mau ambruk. Bagaimana kalau dibuat tempat pelatihan saja? Tempo hari saya sudah bicara dengan ayah dan ayah pun menyetujuinya. Betul kan yah?”

Arman menanyakan kepada ayahnya untuk memastikan kepada pamannya.

“Iya benar, saya setuju dengan Arman. Apa gunanya kita ribut terus bertahun-tahun tidak ada ujungnya? Lagipula saya dan kau Sep sudah berkecukupan”. Dengan lirih pak Karya melontarkan pernyataannya kepada pak Kasep.

Pak Kasep yang awalnya duduk kaku di ruang tamu menjawab “Sebenarnya kedatangan saya kesini juga akan menyampaikan hal itu.

Saya menyesal Arman mengalami kecelakaan seperti ini gara-gara kita yang terus- terusan ribut masalah warisan tanah. Kalau memang itu bagus ya sudah, saya ikhlas”. Dengan penuh penyesalan pak Kasep mengungkapkan pada Arman dan pak Karya.

“Wah, Arman senang mendengarnya. Baik, jadi nanti tanah warisan itu lebih baik kita wakafkan saja untuk hal yang produktif yaitu untuk membangun tempat pelatihan warga. Apakah ayah dan paman setuju?”

“Iya ayah setuju. Nanti tanah warisan itu bukan jadi milik ayah dan pamanmu lagi, tapi sudah milik ummat karena telah diwakafkan”. Pak Karya menegaskan kembali.

“Nah, ini baru saya setuju. Kenapa tidak kepikiran dari awal-awal dulu?
Sampai begini kejadiannya, baru ada kepikiran seperti ini?” Masih dalam menyesali peristiwa nahas yang menimpa Arman.

“Ya sudah Sep. Mungkin ini ujian untuk persaudaraan kita, tidak ada gunanya bersengketa terus menerus, yang ada orang tua kita tidak akan bahagia di alam sana”.

Kedua bola mata pak Karya berkaca-kaca mengingat orang tuanya yang sudah meninggal.

“Iya benar. Maafkan salah dan khilaf saya kang selama ini ya”. Sambil menyodorkan tangan kanannya ke pak Karya.

“Iya, sama-sama Sep. Akang juga minta maaf jika ada keangkuhan yang membabi buta selama ini”. Sambil memaafkan pak Kasep dan merangkulnya.

“Alhamdulillah. Semuanya sesuai dengan harapan. Ayah dan paman telah sama-sama setuju supaya tanah warisan nenek diwakafkan dan dijadikan tempat pelatihan warga”.

Arman senang dan tersenyum, bahkan tidak sadar bahwa ia masih dililit perban putih di kakinya.

Tetangga yang berkerumun di samping rumah Arman juga menyaksikan bagaimana Arman menjadi pahlawan walaupun sedang di atas kursi rodanya. Bahkan ada salah satu warga yang latah dan tanpa sengaja berteriak “Nah, gitu dong.”

Mendengar teriakan tersebut, Arman, pak Karya dan pak Kasep langsung mengarahkan pandangannya kepada tetangga yang berkerumun itu.

Pak Karya selaku ketua RW langsung memanggil semua warga yang berkerumun untuk bergabung di ruang tamunya. Sekaligus ingin memberitahukan bahwa persoalan tanah warisan kini sudah selesai.

Tanah tersebut akan segera diwakafkan dan nantinya juga akan dibangun tempat latihan untuk warga Kampung, terutama pelatihan di bidang teknologi yang dapat digunakan fasilitasnya oleh semua warga.

Mendengar hal itu, warga sangat senang dan antusias sekali. Bahkan seluruh warga siap untuk bergotong royong untuk membangun tempat pelatihan nantinya.

Arman yang masih duduk di kursi rodanya juga meminta agar warga siap mendukung dan menjadikan Kampung Menari sebagai Kampung Teknologi.

Tak butuh waktu lama, keesokan harinya yaitu pada hari senin, pak Karya bersama pak Kasep mewakafkan tanahnya tersebut. Seminggu kemudian dimulailah proyek pembangunan tempat pelatihan.

Di lokasi telah banyak warga dengan sukarela berduyun-duyun tanpa paksaan dengan membawa peralatan seadanya. Ada yang membawa cangkul, arit, sapu lidi, pemotong rumput maupun pengaduk semen.

Pak Kasep yang menggunakan caping dan baju berwarna abu-abu juga terlihat sedang membawa kotak makanan. Begitu juga dengan pak Karya yang sigap berkeliling di area lokasi untuk menyapa warga yang sedang membantu bahu membahu.

Sementara Arman tidak terlihat di lokasi karena ia harus memulihkan keadaannya.

Hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk membongkar rumah yang mau ambruk tersebut kemudian membersihkannya. Rumah warisan tersebut sudah rata dengan tanah.

Selanjutnya tinggal membangun bangunan tersebut. Namun aktifitas dihentikan oleh pak Karya karena dirasa cukup untuk hari itu dan akan dilanjutkan pada hari minggu mendatang.

Tibalah saatnya untuk membangun tempat pelatihan. Terlihat jam 8 pagi area lokasi telah dipenuhi dengan warga-warga yang antusias menginginkan perubahan.

Semen pun diaduk, batu bata merah juga siap untuk dipadukan.

Kebersamaan warga ternyata membuat bangunan itu cepat terselesaikan. 1 bulan lamanya, bangunan tersebut sudah kokoh berdiri tegak. Dilengkapi dengan ruang musholla dan toilet membuat ruangan ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat pelatihan nantinya.

Kabar gembira datang dari Arman sang “Boy Tekno” yang telah berhasil memulihkan seluruh kondisinya. Perban putih yang melilit sekujur kakinya kini telah lepas. Kakinya pun terasa lebih ringan dan tidak kaku. Dengan kata lain Arman telah berhasil 90 persen sembuh dari sakit yang di deritanya.

Hanya butuh merawat dirinya secara mandiri untuk menuju kesembuhan total.

Arman pun kembali beraktivitas sedia kala, ia mulai masuk ke sekolahannya untuk melepas kerinduan pada guru, penjaga sekolah, penjual di kantin dan seluruh teman-temannya.

Ibu Susi yang merupakan wali kelas Arman memberikan selamat atas apa yang telah Arman perjuangkan selama 3 bulan berada di rumahnya. Salah satunya adalah upaya menyadarkan perselisihan antara ayah dengan pamannya.

Bahkan ibu Susi ingin sekali ketika tempat pelatihan itu dibuka, ia juga hadir untuk melihatnya. Arman dengan senang hati mengatakan pada ibu Susi bahwa tempat pelatihan tersebut akan dibuka dan diresmikan akhir pekan ini tepatnya pada hari minggu.

Tibalah saatnya yang ditunggu-tunggu, tempat tersebut diresmikan pada hari minggu dan turut hadir semua keluarga besar Arman, pak Kasep bersama istrinya, para guru, teman-teman Arman dan para pejuang Kampung yaitu seluruh warga Kampung Menari.

Dengan acara sederhana yang di dalamnya berisi doa dan tausyiah dari Ustadz Kampung. Akhirnya tempat pelatihan tersebut resmi dibuka.

Dalam serangkaian acara tersebut, Arman juga berkesempatan untuk bicara perihal kegunaan dan fungsi dari tempat tersebut.

“Terimakasih atas dukungan seluruh warga, guru-guru mulia, teman-teman dan khususnya pada keluarga paman Kasep yang telah berhasil bahu membahu membangun tempat pelatihan ini. Tempat ini beroperasi setiap hari minggu dan terbuka bagi semua warga yang mau belajar teknologi.

Nanti akan dibimbing bagaimana caranya bapak dan ibu-ibu sekalian untuk berdagang secara online, menggunakan internet sebagai aktifitas seperti membeli listrik dan lainnya.

Sudi kiranya, untuk berkenan belajar bersama saya supaya Kampung kita berkembang, tidak ketinggalan zaman, mandiri dan bermartabat”.

Alhasil, setiap minggu seluruh warga dengan senang hati menimba ilmu dari Arman dan teman-temannya yang kompeten. Kini banyak warga yang telah berhasil mengembangkan aktifitasnya ke ranah yang lebih baik melalui teknologi.

Berkat keberhasilannya, kini Kampung Menari dinobatkan sebagai “Kampung Teknologi” yang telah menginspirasi kampung-kampung lainnya.

Warga mengucapkan puji syukur yang tiada tara, karena tempat pelatihan warga tersebut sangat produktif dan bermanfaat bagi semuanya.

Tidak hanya di Kampung-kampung, kini Arman semakin terkenal berkat banyak media nasional yang meliput kisah perjuangannya yang dimulai dari perselisihan, kecelakaan hingga hikmah suksesnya Kampung Teknologi.

Media televisi, radio, koran, dan situs berita online lainnya mengangkat Arman dengan headlines pada judul mereka “Boy Tekno di Kampung Teknologi”.

Arman, pak Karya dan pak Kasep telah merubah banyak sekali peristiwa.

Saat di wawancarai, Arman berkata “Saya bersyukur sekali, Kampung Teknologi menjadi inspirasi”.

Sedangkan pak Karya sambil tersenyum berkata “Ya, saya bodoh sekali”.

Sementara pak Kasep dengan wajah memerahnya menyadari “Kalau saya, bertahun-tahun saya menyesal. Tapi kini saya bangga punya keponakan seperti Arman”.

0 Comments

Boy Tekno di Kampung Teknologi